Minggu, 22 Mei 2011

PSSI Makan Ati

"Makan ati" merujuk pada peristiwa afektif yang menggiring kognitif, reliji, dan psikomotor untuk menggambarkan sesuatu yang memprihatinkan, menggemaskan, dan/atau menjengkelkan (jelas, bukan kamusitis tuh..). Kisruh PSSI yang berkutat pada kodrat politik elit untuk memperebutkan posisi terhormat sebagai pemimpin umum, tak perlu diragukan lagi sedang menuju pada penyelesaian monumental pasca kongres 19 Mei 2011 yang lalu: kegelisahan atlet!

Ya, atlet sepakbola Indonesia terancam terkurung dalam kubangan debu tebal beraroma busuk dari kekisruhan elite kepengurusan PSSI, sehingga sangat bisa jadi akan menurunkan penghasilan mereka untuk memenuhi kehidupan keluarga sehari-hari. Tentu saja kecakapan, hobby, dan gairah merekapun ikut terpengaruh dengan kondisi ini. Sudah seriuskan kelompok 78 suara maupun insan lain yang terlibat dalam lingkaran mencekam kisruh PSSI ini memikirkan segala tindakannya dalam konsekuensinya terhadap nasib persepakbolaan nasional dan atlet yang menggantungkan sebagian besar hidupnya di PSSI?

Banyak sudah filsuf-etikus-politikus yang bisa kita rujuk untuk meminjam teorinya untuk diteropongkan pada masalah awan gelap PSSI ini. Satu hal yang pasti, warga Indonesia yang masih punya nurani saya yakin semua berharap semoga tidak ada satupun dari mereka yang terlibat dalam pembusukan kepengurusan PSSI tahun 2011 ini sungguh-sungguh berniat menghancurkan persepakbolaan nasional. Seandainyapun mereka remuk, semoga tidak ada niatan dari hati dan pikiran mereka untuk ikut menggelandang PSSI untuk juga ikut remuk bersama mereka. Seandainya ada (sepertinya begitu..), duh.. Immanuel Kant dengan deontologisme etis, atau jauh sebelum dia, si Hedonis Epikuros, atau filsuf kontemporer seperti Deleuze, akan menyenandungkan alangkah BUSUK dosa politisi-pengurus PSSI yang seperti itu. Bukan hanya tidak Pancasilais, tetapi malahan tidak layak disebut manusia yang lengkap. Karena bukankah manusia dianugerahkan roh suci untuk melengkapi ilmu dan ke-tanah liat-annya sehingga melebihi keistimewaan makhluk lain?

PSSI sedang ringkih, terseok terjatuh. FIFA di belakang sedang menunggu ksatrio piningit PSSI.. Habis masa menunggunya, FIFA pun akan lepas tangan: PSSI, kau tentukan nasibmu sendiri beserta bangsa Indonesia, untuk terseret api neraka!

Jumat, 22 April 2011

Mahasiswa = Siswa Super? (2)

Beberapa bulan ini saya sengaja "say hello" dengan mahasiswa2 saya di Facebook melalui chat. Satu hal yang kusadari dan kemudian betah bersama mereka: mahasiswa adalah pemilik dunia mereka sendiri..! Dengan logika berpikirnya, dengan perasaan2 dan kegalauan mereka, akademis dan kehidupan pribadinya, kedangkalan dan kedalaman pertimbangannya, intensitas tekanan luar yang mendera mereka dengan berbagai tuntutan formal, kebisuan dan kegairahan mereka terhadap peristiwa jagad sekeliling mereka baik politik, budaya, maupun sex, kerekatan dan kerenggangan dengan relijiusitas keibadahan, dan sebagainya. Semua bermuara pada identitas aksidensi mereka sebagai mahasiswa.
Tidak ada yang lebih menarik perhatian saya di saat salah seorang dari mereka mempertanyakan peran dosen bagi keberlanjutan mereka dalam proses pematangan potensi menghadapi multidimenisonalitas permasalahan. Ternyata masih banyak dosen yang terjebak pada posisi pasif, alias tak ada greget untuk mengajak mereka kritis dalam melihat semua permasalahan. Dosen seperti itu rata2 masih berparadigma "pedagogy of the oppressed" a la Freire: mahasiswa diberi setumpuk materi untuk dihapal atau dijejali ceramah semu tentang kebijaksanaan dan kebaikan versi dosen itu sendiri tanpa menghiraukan dunia dalam (inner world) mahasiswa sebagai subjeknya. Seharusnya dosen berperan sebagai mediator atau fasilitator, bahkan bila perlu sebagai teman curhat bagi mahasiswa. Bukan malah sebagai diktator atau pendeta..!
Tidak jarang juga dosen yang memperlakukan mahasiswa hanya sebagai objek didik yang dipaksa memahami pemahamannya yang sulit dipahami. Duh, mahasiswa bukan siswa berseragam Pak/Bu.. Jangan seragamkan mereka dengan konsep-konsep dan asumsi2 yg antipati terhadap perbedaan. Bukan hanya bajunya, pikirannya (apalagi) juga jangan diseragamkan. Apabila generasi si dosen dipenuhi PR untuk menguasai dan mengkultuskan teori Bloom atau Einstein, biarkanlah mahasiswa berusaha memodifikasi, mengutak-atik, mengkritik, bahkan mencongkel teori2 impor itu untuk digantikan dengan kreasi positip mereka. Di diri mahasiswa itulah dunia lokal dan global sedang digulung di pikiran jiwanya untuk digelar dan disemaikan menuju peradaban baru mereka yang bisa saja sama sekali tidak bisa bapak/ibu semua terima. Kata Thomas Kuhn, ilmu itu berrevolusi..! Apa yang disepakati di jaman bapak/ibu sekalian, bisa saja akan ditebas habis untuk diganti kesepakatan ilmiah baru. Saya berasumsi, ke depan adalah siklus baru yang memanifestasikan proyek Krishna-Promotheus: bagaimana local genius bersahabat akrab dengan rasionalitas modern; bagaimana Timur bersanding saling menyetubui dengan Barat; bagaimana kearifan kuno mewartakan nilai kebenarannya di mata sains kontemporer; bagaimana Yang menyadari urgensinya Yin.
Mahasiswa adalah siswa plus, tapi bukan siswa super. Mereka tak bisa memahamkan dengan mudah kegalauan dunianya ke orang2 tua termasuk dosennya. Mereka memang butuh didampingi, tapi bukan disuapi. Semangat guru/dosen sejati adalah bagaimana agar para siswa/mahasiswa bisa mengoptimalkan aktualisasi potensinya, hingga outputnya melebihi si guru/dosen. Biarkan mereka cerdas dengan wifi dan nimbuzz-nya. Dan menurut saya kok naif kalau kita kemudian stagnan dengan kejumudan penafsiran salah tentang teknologi lantas membiarkan teknologi meninggalkan kita. Apa jadinya ketika mahasiswa hanya disuguhi slide demi slide berreferensi jadul yg kita banggakan? Membombardir mereka dengan teori2 import yang menjadikan generasi mereka sebagai generasi yang terus menerus menghamba ras kaukasia? Atau sebaliknya kita kekang mereka dengan romantisme kesejarahan lokal namun minus implementasi global?
Saya bukan dosen super, bahkan bukan dosen ideal, kecuali mahasiswa mengijinkan..!

Minggu, 26 September 2010

Butterfly Effect

Seusai melihat film "butterfly effect", terlintas di benak saya sebuah pertanyaan eksistensial, sekaligus "konyol":
  • ada berapa sih "aku" ini?
  • apa jadinya dunia saat ini, jika tidak ada aku?
  • atau, apa jadinya saat ini, jika dulu aku memilih sekolah di MAN, bukan SMA?
  • dapatkah aku memilih cara dan nasib kehidupanku sendiri di antara berbagai alternatif?
  • alam semesta ini sungguhkah cuma satu sebagaimana yang telah terdoktrinkan di benak banyak orang, terutama yang BELUM mengetahui pernyataan fisikawan termasyhur Stephen Hawking, bahwa ada multiple universe?
  • bagaimana pula posibilitas "kebenaran" suatu riwayat (alternatif) di agama Islam bahwa Adam yang dikenal, adalah Adam ke-20?
  • atau pemahaman ilmiah tentang kuark ("aku") dan antikuark ("aku negatif")?
  • Tuhan maha kuasa, berarti bukankah Tuhan juga berkuasa menjadikan segalanya itu mungkin? (termasuk membantah pandangan yang menganggap pemikiran saya ini sebagai non-sense?)
Hehehe...
Apa jawaban final saya di malam hari setelah itu? Wallahu a'lam...

Kamis, 31 Desember 2009

Gus Dur dan Proyek Literasi MultiKultur

Ketidaktahuan seringkali menjadi hakim yang jahat. Pekerja keras yang profesional di bidang IT di sebuah institusi Sekolah Dasar, niscaya amat merasakan kebenaran dari pernyataan tadi ketika dia menemukan bos-nya yang memang Gagap Teknologi, seenaknya memprogram kebijakan yang sangat membingungkan dan bahkan merendahkan profesi IT. padahal tanpa IT, Sekolah hanya tinggal menjadi sejarah. Ketika Imam Al Ghazali menyebut "orang yang tahu di tidak tahunya..", sesungguhnya inilah kalimat yang mewakili kearifan pejabat yang peka terhadap perbedaan kapabilitas kompetensi. Pejabat yang melek diversitas, melek multikultur. Pejabat yang tahu literasi kultur.

Gus Dur tidak lain hanyalah pewarta multikultur, multicarapandang, multikeyakinan. Tindakannya yang seringkali "nyeleneh", dan bahkan "melukai logika khalayak", adalah cara dia mengetengahkan pendewasaan berkehidupan. Kecerdasan multikultur sebagaimana Ilya Prigogine mencanangkan proyek penggabungan west dan east, atau Daniel Coleman dengan reinforcingnya tentang Emosi berdampingan Intelek, atau bahkan kearifan Khidir meng-enlightening Musa. Gus Dur "melukai logika" untuk "membangun logika". Akankah idealisme mantiq-nya itu terkubur bersama jasadnya di Jombang?

Proyek literasi multikultur sesungguhnya mahaproyek penting di abad star wars mendatang. Bagaimana masyarakat diajak berpikir dan bertindak bahwa perbedaan sungguh-sungguh merupakan rahmat, adalah merupakan kebutuhan Sang Jaman. Tradisi responsif mengutuk harusnya mulai di-rem, dialihkan ke transformasi diskusi yang berkualitas.

Apalagi untuk lingkup perguruan tinggi. Tak selayaknya civitas akademika - apapun fakultasnya (termasuk olahraga di mana saya bekerja) - mengembangkan logika "itu-itu saja", dan lebih parah lagi tradisi "mengutuk" atau sebaliknya, tradisi "mengkultuskan" sesuatu. Bukan subjek yang diciptakan oleh realitas, melainkan subjek (harus bisa) menciptakan realitas. Semangat mendobrak - tapi bukan menerabas - adalah semangat purba manusia dalam rangka mengukuhkan kediriannya sebagai khalifah. Semangat pembaharu. Semangat para Nabi. Semangat para orang terdidik.

Namun apa jadinya jika dosen mengajarkan hal yang sama dengan pendahulunya? Budaya copy paste? Atau repotnya lagi, bagaimana bila dosen mengukuhkan diri sebagai penjaga setia logika dan ilmu lama? Dan tidak menerima perbedaan sebagai rohnya pendidikan yang memanusiakan manusia? Yang terjadi adalah matinya pendidikan. The End of School/College. Ada gedungnya sih, mewah dan diisi peralatan dan jargon-jargon ilmiah. Tapi sesungguhnya muaranya hanya mencetak robot untuk keperluan industri. Mencetak manusia terdidik yang membelenggu dirinya sendiri dengan kultur tunggal: kultur populer yang menghegemoni mahasiswa dengan merasa tahu di tidak tahunya dan lalu mengabdikan diri untuk kepentingan kapitalisme busuk yang bersembunyi di balik birokrasi amburadul namun dikemas rapi, atau untuk kepentingan penguasa yang mengamankan negara dengan mencuci otak rakyatnya.

Mudah-mudahan Gus Dur bisa tersenyum lega saat melihat dari "sono", bahwa berbeda itu intisari manusia yang manusiawi, yang akhirnya dimiliki rata-rata masyarakat Indonesia. Keep peace in Your Mind pembaca.... Selamat jalan Gus... jangan bawa serta idealismemu... Innalillahi Wa innailaihi roji'un...

(diambil dari http://dosen-kuliah.blogspot.com)

Rabu, 23 Desember 2009

Mahasiswa = Siswa Super? (1)

Ranah kognitif kita ditengarai para ahli neurofisiologis sebagai sumber inspirasi hampir unlimited untuk mengunduh samudra pengetahuan. Sekaligus, pada akal juga para ahli tak hentinya mengeksplorasi lautan misteri. Mulai dari struktur "penghubung raga dan jiwa" a la Cartesian hingga "medan hampa kuantum" SQ-nya Danah Zohar dan Ian Marshall. tak ayal, modernisasi adalah jaman akal dikultuskan (sampai-samapai bikin gatel kaum posmodernis). Akal adalah inti kemanusiaan.

Pendidikan, dalam taksonomi Bloom, mengarahkan perhatiannya ke ranah akal ini di samping ranah afektif dan psikomotor. Perkuliahan sebagai jenjang pendidikan lanjut tentu saja memiliki beban ekstra dibandingkan pendidikan jenjang sebelumnya. Apalagi untuk perkuliahan sarjana strata satu yang mayoritas mahasiswanya berada pada tahap menentukan untuk menemukan "jati diri"nya, entah disengaja atau tidak. Kepaduan trio taksonomi Bloom di atas pada diri mahsiswa S1 berkelindan dan berproses sangat intins dan intim, sehingga pemahaman tentang hardskill-softskill ataupun multiple intelegensi berpendar mengantarkan mahasiswa menatap kehidupan nan penuh kemungkinan. Dalam hal ini, mahasiswa sedang berjalan menyusuri jalan: "kedewasaan" ataukah sekedar "menua". Bukankah ada pemeo di masyarakat bahwa tua itu pasti, dewasa belum tentu? Pendidikan perkuliahan tak hanya menyiapkan tukang-tukang yang hanya siap menjadi robot-nya industri, tetapi hakikatnya pendidikan adalah pemanusiaan manusia dewasa dalam mengarungi segala sisi kemanusiaannya.

Apa jadinya kalau kemudian mahasiswa hanya berorientasi pada "cepet lulus" dan "cepet kerja"? Doesn't matter? Tampaknya komersialisasi alias kapitalisme pendidikan tengah berjuang keras menanamkan hegemoni seperti itu ke semua SDM pendidikan. Kalau memang hanya bertujuan menciptakan SDM profesional di berbagai lahan kerja, maka apa bedanya dengan jualan "chip" hasil olahan canggih para ahli multidisipliner yang bisa ditanamkan ke otak "mahasiswa" sehingga dengan chip itu mereka menjadi ahli di bidangnya masing-masing? Yang pingin jadi dokter bedah beli aja chip dokter bedah. Yang mau jadi sosiolog, beli aja chip sosiolog. Tak usah kuliah. ...bersambung...

Senin, 28 September 2009

Intermezo Lintas Galaksi

Saat saya membaca release BETA UFO Indonesia dan juga tulisan seseorang "analisator" kehadiran planet biru yang mengancam kehidupan bumi, saya agak terperangah juga meskipun sebenarnya sudah pernah berpikir tentang hal ini. Bagaimana tidak, Mantan Presiden AS Ronald Reagen sudah dari dulu mewanti-wanti perlunya strategi militer untuk perang bintang.
Perang bintang? ya. Star Wars. Perang manusia dengan kehadiran makhluk-makhluk lain penghuni jagad maha luas ini. Bangsa Sumeria Kuno menulis tentang kehadiran Anunaki, penghuni planet nibiru yang pada tahun-tahun terakhir diwaspadai sebagai penyebab "kiamat" bumi, ditandai dengan beruntunnya berbagai bencana menghantam bumi akhir-akhir ini, tsunami hingga letusan gunung berapi. Sumber kuno dan sumber rahasia (NASA dll) berkelindan menyebarkan informasi semacam ini. Siapa yang mengajarkan manusia bercocok tanam? Siapa yang ikut turun ke bumi menyertai reruntuhan besi yang ditengarai bukan asli milik bumi? Alien. UFO.
So..
Kecerdasan lintas galaksi perlu dipikirkan untuk menghadapi serba kemungkinan ini. Kecerdasan yang sekaligus memanusiakan manusia kembali di fitrahnya. Syukur-syukur kalo emang ga ada Alien/UFO. Kalo ada, sudah siapkah kecerdasan lintas galaksi bagi manusia?
Einstein sejak lama meramalkan kemungkinan manusia "beralih dimensi". We'r one of dwell of universe

Senin, 29 Juni 2009

Teman-temanku

Temanku bernama Allah
tempat kupercaya kuyakin kupasti
dan Dia selalu setia menemaniku
...
Temanku bernama Eni
tempat aku menyatu dalam damai dan sinergis
dan Dia selalu setia menemaniku
...
Temanku bernama Ibu
tempat aku mengharu biru dalam keramat doa
dan Dia selalu setia menemaniku
...
Temanku bernama teman-teman
tempat aku eksis mengupdate siapa aku
dan Mereka selalu setia menemaniku
...
Temanku bernama kematian
tempat aku mengakhiri cerita semu, menuju kesejatian
dan Dia selalu setia menungguku
...

Rabu, 27 Mei 2009

The Sadness

Kematian... Kekecewaan... Kejenuhan...
Apalagi yang harus ditunggu manusia untuk memampukan dirinya
Keluar dari kerangkeng kesedihan
...
Meski ujaran dan hikmah terus bersuara dibenak,
manusia menjelmakan diri sebagai sosok beku ketika berhadapan dengan kepedihan yang mendera
Manusia tak lebih dari cerita fluktuatif yang mengairi sawah-sawah hidupnya
...
Ya.
Hidup harus wajar.
Untuk itu butuh kesedihan untuk menemani kebahagiaan.
Aku tertatih keluar dari keberpihakan,
dan aku masih terjerembab lagi dalam kemanusiaaanku.
Gagal menjadi lepas
Gagal menjadi Ilahi
Kemanusiaanku masih memuakkan
Kemanusiaanku masih mengutukku
Kemanusiaanku terasa menjemukan
Menjemukan.
Sungguh menjemukan,
Oh Air Cahaya
Lumerkan aku dalam ketiadaan
Biar diasuh oleh ke-Aku-an-Nya

Rabu, 01 April 2009

Aku

Ada baiknya setiap helaan nafas sesekali kita rasakan kehadirannya..
Untuk sekedar memahami betapa menakjubkan cara kita hidup dan "dihidupkan".
Lewat helaan nafas yang terasakan secara afektif-spiritual, kedangkalan kita dalam mengungkapkan berkah alam barangkali akan elevatif menuju ikhlas menerima keberadaan kita sendiri di jagad kesejatian. Jagad kesejatian adalah ukiran penemuan diri atas ejawantah eksistensial. Aku bertemu "Aku".. dan aku mengaku Aku.
Luar biasa memang cara keakuan kita hadir di saat-saat seperti itu. Saat di mana aku merasakan aku. Dan secara berangsur-angsur, aku bahkan tak merasakan keakuan. karena aku sudah larut dalam Sang Aku.
Godhead. Itulah yang dikatakan Meister Eckhart atas pertemuan aku dengan Aku yang tak bernama. Tao.
Dan aku menjadi Superman (Ouspensky), Uebermensch (Nietzsche), Insan kamil (Iqbal)..
Orang kemudian menyebut Nirwana. Ketenangan maha tenang.
Filsafat, ilmu, agama, seni, luruh dalam pertemuan mistik di tataran awal-akhir, lahir-batin.
Kepada Stephen Hawking dkk.. Theory of Everything kalian sudah ada, menunggu kalian!

Minggu, 25 Januari 2009

Pawang Hujan dan Heidegger

Sohib saya di filsafat UGM, Hamcrut julukannya, januari 2009 ini "dinobatkan" jadi pawang hujan melalui pemberitaan Kompas. Saya jadi ingat konsep Heidegger tentang Teknologi. Lho...?
Hukum asosiatif jarak jauh kali.
Tapi yang jelas, pertanyaan yang muncul di benak saya adalah: apa teknologi harus muncul dari sains (ilmu dalam arti yang rigorous),terlarangkah orang seperti Hamccrut dengan kepakaran pawang hujannya disebut sebagai teknolog?
Bukankah sains mutakhir hanyalah salah satu varian ilmu di antara samudra tak terbatas ilmu pencapaian pemahaman dan keterampilan?
Bila taknologi menjadi rumah Ada, mirip bahasa, bukankah Ada itu sendiri tak terbatas kemungkinan eksistensialnya?
Bersambung...