Jumat, 22 April 2011

Mahasiswa = Siswa Super? (2)

Beberapa bulan ini saya sengaja "say hello" dengan mahasiswa2 saya di Facebook melalui chat. Satu hal yang kusadari dan kemudian betah bersama mereka: mahasiswa adalah pemilik dunia mereka sendiri..! Dengan logika berpikirnya, dengan perasaan2 dan kegalauan mereka, akademis dan kehidupan pribadinya, kedangkalan dan kedalaman pertimbangannya, intensitas tekanan luar yang mendera mereka dengan berbagai tuntutan formal, kebisuan dan kegairahan mereka terhadap peristiwa jagad sekeliling mereka baik politik, budaya, maupun sex, kerekatan dan kerenggangan dengan relijiusitas keibadahan, dan sebagainya. Semua bermuara pada identitas aksidensi mereka sebagai mahasiswa.
Tidak ada yang lebih menarik perhatian saya di saat salah seorang dari mereka mempertanyakan peran dosen bagi keberlanjutan mereka dalam proses pematangan potensi menghadapi multidimenisonalitas permasalahan. Ternyata masih banyak dosen yang terjebak pada posisi pasif, alias tak ada greget untuk mengajak mereka kritis dalam melihat semua permasalahan. Dosen seperti itu rata2 masih berparadigma "pedagogy of the oppressed" a la Freire: mahasiswa diberi setumpuk materi untuk dihapal atau dijejali ceramah semu tentang kebijaksanaan dan kebaikan versi dosen itu sendiri tanpa menghiraukan dunia dalam (inner world) mahasiswa sebagai subjeknya. Seharusnya dosen berperan sebagai mediator atau fasilitator, bahkan bila perlu sebagai teman curhat bagi mahasiswa. Bukan malah sebagai diktator atau pendeta..!
Tidak jarang juga dosen yang memperlakukan mahasiswa hanya sebagai objek didik yang dipaksa memahami pemahamannya yang sulit dipahami. Duh, mahasiswa bukan siswa berseragam Pak/Bu.. Jangan seragamkan mereka dengan konsep-konsep dan asumsi2 yg antipati terhadap perbedaan. Bukan hanya bajunya, pikirannya (apalagi) juga jangan diseragamkan. Apabila generasi si dosen dipenuhi PR untuk menguasai dan mengkultuskan teori Bloom atau Einstein, biarkanlah mahasiswa berusaha memodifikasi, mengutak-atik, mengkritik, bahkan mencongkel teori2 impor itu untuk digantikan dengan kreasi positip mereka. Di diri mahasiswa itulah dunia lokal dan global sedang digulung di pikiran jiwanya untuk digelar dan disemaikan menuju peradaban baru mereka yang bisa saja sama sekali tidak bisa bapak/ibu semua terima. Kata Thomas Kuhn, ilmu itu berrevolusi..! Apa yang disepakati di jaman bapak/ibu sekalian, bisa saja akan ditebas habis untuk diganti kesepakatan ilmiah baru. Saya berasumsi, ke depan adalah siklus baru yang memanifestasikan proyek Krishna-Promotheus: bagaimana local genius bersahabat akrab dengan rasionalitas modern; bagaimana Timur bersanding saling menyetubui dengan Barat; bagaimana kearifan kuno mewartakan nilai kebenarannya di mata sains kontemporer; bagaimana Yang menyadari urgensinya Yin.
Mahasiswa adalah siswa plus, tapi bukan siswa super. Mereka tak bisa memahamkan dengan mudah kegalauan dunianya ke orang2 tua termasuk dosennya. Mereka memang butuh didampingi, tapi bukan disuapi. Semangat guru/dosen sejati adalah bagaimana agar para siswa/mahasiswa bisa mengoptimalkan aktualisasi potensinya, hingga outputnya melebihi si guru/dosen. Biarkan mereka cerdas dengan wifi dan nimbuzz-nya. Dan menurut saya kok naif kalau kita kemudian stagnan dengan kejumudan penafsiran salah tentang teknologi lantas membiarkan teknologi meninggalkan kita. Apa jadinya ketika mahasiswa hanya disuguhi slide demi slide berreferensi jadul yg kita banggakan? Membombardir mereka dengan teori2 import yang menjadikan generasi mereka sebagai generasi yang terus menerus menghamba ras kaukasia? Atau sebaliknya kita kekang mereka dengan romantisme kesejarahan lokal namun minus implementasi global?
Saya bukan dosen super, bahkan bukan dosen ideal, kecuali mahasiswa mengijinkan..!

Tidak ada komentar: