Kamis, 31 Desember 2009

Gus Dur dan Proyek Literasi MultiKultur

Ketidaktahuan seringkali menjadi hakim yang jahat. Pekerja keras yang profesional di bidang IT di sebuah institusi Sekolah Dasar, niscaya amat merasakan kebenaran dari pernyataan tadi ketika dia menemukan bos-nya yang memang Gagap Teknologi, seenaknya memprogram kebijakan yang sangat membingungkan dan bahkan merendahkan profesi IT. padahal tanpa IT, Sekolah hanya tinggal menjadi sejarah. Ketika Imam Al Ghazali menyebut "orang yang tahu di tidak tahunya..", sesungguhnya inilah kalimat yang mewakili kearifan pejabat yang peka terhadap perbedaan kapabilitas kompetensi. Pejabat yang melek diversitas, melek multikultur. Pejabat yang tahu literasi kultur.

Gus Dur tidak lain hanyalah pewarta multikultur, multicarapandang, multikeyakinan. Tindakannya yang seringkali "nyeleneh", dan bahkan "melukai logika khalayak", adalah cara dia mengetengahkan pendewasaan berkehidupan. Kecerdasan multikultur sebagaimana Ilya Prigogine mencanangkan proyek penggabungan west dan east, atau Daniel Coleman dengan reinforcingnya tentang Emosi berdampingan Intelek, atau bahkan kearifan Khidir meng-enlightening Musa. Gus Dur "melukai logika" untuk "membangun logika". Akankah idealisme mantiq-nya itu terkubur bersama jasadnya di Jombang?

Proyek literasi multikultur sesungguhnya mahaproyek penting di abad star wars mendatang. Bagaimana masyarakat diajak berpikir dan bertindak bahwa perbedaan sungguh-sungguh merupakan rahmat, adalah merupakan kebutuhan Sang Jaman. Tradisi responsif mengutuk harusnya mulai di-rem, dialihkan ke transformasi diskusi yang berkualitas.

Apalagi untuk lingkup perguruan tinggi. Tak selayaknya civitas akademika - apapun fakultasnya (termasuk olahraga di mana saya bekerja) - mengembangkan logika "itu-itu saja", dan lebih parah lagi tradisi "mengutuk" atau sebaliknya, tradisi "mengkultuskan" sesuatu. Bukan subjek yang diciptakan oleh realitas, melainkan subjek (harus bisa) menciptakan realitas. Semangat mendobrak - tapi bukan menerabas - adalah semangat purba manusia dalam rangka mengukuhkan kediriannya sebagai khalifah. Semangat pembaharu. Semangat para Nabi. Semangat para orang terdidik.

Namun apa jadinya jika dosen mengajarkan hal yang sama dengan pendahulunya? Budaya copy paste? Atau repotnya lagi, bagaimana bila dosen mengukuhkan diri sebagai penjaga setia logika dan ilmu lama? Dan tidak menerima perbedaan sebagai rohnya pendidikan yang memanusiakan manusia? Yang terjadi adalah matinya pendidikan. The End of School/College. Ada gedungnya sih, mewah dan diisi peralatan dan jargon-jargon ilmiah. Tapi sesungguhnya muaranya hanya mencetak robot untuk keperluan industri. Mencetak manusia terdidik yang membelenggu dirinya sendiri dengan kultur tunggal: kultur populer yang menghegemoni mahasiswa dengan merasa tahu di tidak tahunya dan lalu mengabdikan diri untuk kepentingan kapitalisme busuk yang bersembunyi di balik birokrasi amburadul namun dikemas rapi, atau untuk kepentingan penguasa yang mengamankan negara dengan mencuci otak rakyatnya.

Mudah-mudahan Gus Dur bisa tersenyum lega saat melihat dari "sono", bahwa berbeda itu intisari manusia yang manusiawi, yang akhirnya dimiliki rata-rata masyarakat Indonesia. Keep peace in Your Mind pembaca.... Selamat jalan Gus... jangan bawa serta idealismemu... Innalillahi Wa innailaihi roji'un...

(diambil dari http://dosen-kuliah.blogspot.com)

Tidak ada komentar: