Selasa, 13 Mei 2008

Lelah

Ada satu hal yang menurutku terpenting untuk dicatat selama seharian ini.
Sesuatu yang mungkin diolok-olok Sartre sebagai "mengingkari eksistensi", yakni..
Betapa kebebasan untuk berkorban dibutuhkan demi menjamin ekuilibrium kehidupan.
...
Ya, kisah Socrates memilih minum racun, berarti Sang Maha Filsuf itu "bebas untuk berkorban"...
Bahkan Karl Marx rela berlapar-lapar dalam kemiskinan jasmaniah demi menulis dan menulis, berarti Sang Hantu AntiKapitalis itu "bebas untuk berkorban"...
Dan si Made Pramono ini memilih untuk sujud mengharu biru dan menjadi majenun di depan sang istri, berarti Sang Maha Kecil ini "bebas untuk berkorban"...
...
Selama berkorban merupakan pilihan bebas, maka manusia tetap merdeka dalam eksistensialnya.
Aku tafsirkan cara menatapku terhadap realitas sebagai caraku berada, dan demikian pula aku tafsirkan cara beragamaku sebagai caraku menatapNya (dan ini sama dengan menatap-Ku).
Aku adalah selalu baru dan absurd.
Kelelahanku menegakkan eksistensiku adalah unfinished process (sampai kematian menyergap eksistensi dan esensiku menyeruak lalu beku dalam kungkungan definisi eksistensi yang-bukan-aku. Demikian Sartre kuadopsi rasa muaknya.
Aku (saat ini) bukanlah hanya aku (totalitas "aku" sampai sebelum saat ini).
Ada benarnya Nietzsche mengagendakan "ubermensch", atau P.D. Ouspensky dengan "Superman", atau Iqbal dengan "Insan Kamil", atau filsuf teolog dengan "Imago Dei" (bayangan Tuhan). Aku tak pernah lengkap jadi aku, kecuali saat aku menyatu dengan AKU.
...
barangsiapa mengenal dirinya sendiri, dia akan mengenal Tuhan...
(seperti Bima bertemu Dewa Ruci, seperti Panembahan Senapati bertemu Nyi Roro Kidul)
"when God made man, the innermost of Godhead was put into man" (Eckart)

1 komentar:

ENIMA mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.