Rabu, 14 Mei 2008

Bahagiakah Filsuf Sejati?

Filsafat adalah Kegelisahan.
Ketika mahasiswaku nanya tentang "hadirnya filsafat dalam diri", maka filsafat hanya hadir bagi mereka yang menghendakinya. Filsafat bukan tamu tak diundang. Seperti kisah dalam novel "Dunia Sophie", filsuf (yakni diri yang dihadiri filsafat) seupama beberapa kutu bulu kelincinya tukang sulap, yang naik ke permukaan bulu kelinci itu dan sadar bahwa dia hanyalah kutu yang niscaya resah menyadari eksistensinya yang kikuk. Kutu itu tidak bahagia. Beda dengan teman-teman sesama kutu yang bahagia di kehangatan bulu dan darah kelinci, si kutu filsuf ini gelisah dalam ketahuannya.
Plato juga menyoal kesadaran ini dalam The Cave Man. Filsuf bagi Plato adalah mereka yang sadar saat menoleh ke realitas di luar gua. Selama ini kebanyakan kita adalah manusia gua yang bersikukuh bahwa yang real adalah bayangan di dinding gua. Siapkah anda semua menyadari bahwa sesungguhnya realitas yang menampak selama ini kita tafsirkan secara salah? Filsafat mencerahkanmu, bukan membahagiakanmu. Itu mungkin tujuan instan filsafat. Ingat, aku bilang instan. Louis O Kattsoff, dalam element of philosophy, buku sucinya mahasiswa filsafat UGM tahun 90-an, menegaskan bahwa filsafat tidak membuat roti. Biarlah ilmu-ilmu khusus itu yang bikin. Tugas filsuf membersihkan dan menyiapkan segala sesuatunya. William Durrant juga memiliki ilustrasi untuk filsafat, katanya, filsafat mirip pasukan marinir yang bertugas membersihkan pulau dari ranjau dan jebakan musuh. Setelah bersih, datanglah ilmu, pasukan infanteri lain yang tugasnya menyerbu dan menguasai pulau itu.
Jangan berharap bahagia dengan berfilsafat. Seperti minum air laut, semakin diminum semakin haus.
...
Tetapi aku rasa ga relevan kalo dengan menggebu-gebu kita membahas pernyataan: kaya dulu baru berfilsafat..(?) meskipun hal ini patut direkomendasikan. Rasional saja kita berupaya untuk bijaksana, tapi juga kaya raya. Yang lebih relevan saat ini adalah bagaimana melalui kesadaran eksistensial kita, keutuhan kemanusiaan dapat kita tegakkan. Kita tak hanya tubuh, tapi juga mental dan spiritual. Kita tak hanya "memiliki", tapi juga "dimiliki". Kita tak hanya semesta materi, tapi juga semesta rohani. Kita tak hanya butuh bahagia, tapi juga butuh tantangan. Kita tak hanya jamak, tapi juga tunggal. Kita tak hanya mikrokosmik, tapi juga sekaligus makrokosmik. Kita adalah melebihi definisi tentang kita. "Aku" adalah melebihi definisi tentang aku. Aku ya aku. Tak lebih tak kurang. Tak layak bahasa mewakilinya. Untuk disebut cantik, harus ada yang tak cantik. Untuk disebut kaya, harus ada yang miskin. Untuk bahagia, butuh susah.
.....
Filsafat tidak membahagiakanmu, tetapi mencerahkanmu

2 komentar:

Anonim mengatakan...

terus, mengapa pula berfilsafat kalau "hanya" mencerahkan?

Dr. Made Pramono, M.Hum. mengatakan...

Kalo melalui uang anda bisa beli apa saja, bisakah membeli ketenangan dengan uang?
kalo melalui dzikir anda bisa tenang, bisakah anda mendapat sepiring roti dari dzikir?
saya pikir Tuhan punya rencana menciptakan alat kelamin, juga kuku jari kaki. Masing-masing punya peran fungsinya sendiri. Dan filsafat peran fungsinya lebih mencerahkan dari membahagiakan